Memukul, menendang, atau mendorong teman sekelas: Anak secara fisik menyerang teman sekelasnya dengan memukul menggunakan tangan atau menendang dengan kaki, atau mendorong hingga jatuh.
Menggigit atau mencakar orang lain: Anak menggunakan giginya untuk menggigit atau kukunya untuk mencakar teman atau guru, menyebabkan luka fisik.
Melempar benda dengan maksud untuk melukai orang lain: Anak melempar benda seperti batu, mainan keras, atau alat tulis dengan tujuan melukai orang lain.
Berkelahi dengan teman atau guru: Anak terlibat dalam perkelahian fisik, menggunakan kekerasan untuk melawan atau melukai teman atau guru.
Respon Agresi Fisik
Pendekatan menyediakan sudut tenang untuk anak menenangkan diri serta mengajarkan keterampilan resolusi konflik melalui diskusi. Anak diajak menyalurkan energi melalui proyek seni kolaboratif dan teater boneka untuk mengajarkan empati dan kerjasama. Aktivitas permainan peran yang diawasi juga efektif untuk mengajarkan kontrol diri dan sesi kelompok untuk diskusi perilaku (Smith et al., 2020). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa program intervensi berbasis mindfulness dapat mengurangi agresi fisik pada anak-anak (Flook et al., 2015).
Perilaku Merusak
Merobek buku atau lembar kerja: Anak merobek halaman buku atau lembar kerja yang diberikan di kelas, menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
Memecahkan mainan atau peralatan kelas: Anak memecahkan mainan atau peralatan kelas, seperti alat peraga atau perlengkapan seni, dengan sengaja.
Menggores atau mencoret-coret dinding dan meja: Anak menggunakan benda tajam atau alat tulis untuk mencoret-coret atau menggores permukaan dinding atau meja di kelas.
Merusak barang pribadi milik teman: Anak merusak barang milik teman, seperti merusak tas, buku, atau alat tulis, baik dengan sengaja maupun sebagai tindakan balas dendam.
Respon Perilaku Merusak
Kegiatan yang konstruktif dan menarik seperti merawat tanaman atau hewan kelas, serta proyek seni menggunakan benda-benda alam, dapat mengalihkan energi negatif dan mengajarkan tanggung jawab. Melibatkan anak dalam aktivitas sosial yang terstruktur membantu mengarahkan perilaku positif (Brown & Lee, 2017). Studi menunjukkan bahwa terapi berbasis permainan efektif dalam mengurangi perilaku merusak pada anak-anak (Ray et al., 2013).
Perilaku Seksual
Perilaku Menantang
Berdebat dengan guru atau orang dewasa: Anak sering berdebat dengan guru atau orang dewasa lainnya, menunjukkan sikap menentang dan tidak patuh.
Melakukan hal yang dilarang secara sengaja untuk memancing reaksi: Anak sengaja melakukan tindakan yang dilarang, seperti menggunakan ponsel di kelas, untuk memancing reaksi dari guru.
Menunjukkan sikap membangkang secara terbuka di depan teman sekelas: Anak menunjukkan sikap menentang secara terbuka, seperti melanggar aturan dengan sengaja di depan teman-temannya.
Melakukan perilaku provokatif seperti mengganggu pelajaran atau mengolok-olok peraturan: Anak mengganggu pelajaran dengan membuat suara atau tindakan provokatif, serta mengolok-olok aturan sekolah atau guru.
Respon Perilaku Menantang
Fokus pada kegiatan mandiri yang memberikan pilihan kepada anak serta meningkatkan kepercayaan diri. Partisipasi aktif dalam proyek kelas dan ekspresi diri melalui seni atau musik. Menggunakan scaffolding dan interaksi sosial yang diawasi untuk mengarahkan perilaku positif (Jones & Bouffard, 2012). Studi terbaru menunjukkan bahwa intervensi berbasis perilaku positif efektif dalam mengurangi perilaku menantang (Bradshaw et al., 2010).
Ketidakpatuhan
Tidak mau mengikuti instruksi guru saat diminta untuk duduk: Anak menolak untuk duduk ketika diminta oleh guru, dan tetap berdiri atau berjalan-jalan di sekitar kelas.
Menolak mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah: Anak menolak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, baik di sekolah maupun pekerjaan rumah, meskipun telah diberikan instruksi yang jelas.
Mengabaikan peraturan kelas seperti berbaris atau berbicara pada waktu yang tepat: Anak tidak mengikuti peraturan seperti berbaris sebelum masuk kelas atau berbicara pada saat yang tidak tepat, mengganggu proses belajar.
Menolak mengenakan seragam sekolah atau mengikuti kode berpakaian: Anak menolak memakai seragam sekolah atau mengikuti aturan berpakaian yang telah ditetapkan oleh sekolah.
Respon Ketidakpatuhan
Memberikan anak pilihan dalam aktivitas sehari-hari dan mengajarkan konsekuensi alami dari tindakan mereka sangat membantu. Anak diajak berpartisipasi dalam pembuatan aturan kelas melalui diskusi dan proyek kelompok. Interaksi dengan teman sebaya serta scaffolding untuk membangun kepatuhan juga penting (Walker et al., 2018). Penelitian menunjukkan bahwa program pengembangan keterampilan sosial dapat meningkatkan kepatuhan anak-anak (Gresham et al., 2010).
Kecanduan
Agresi Verbal
Mengejek, mengancam, atau memaki teman atau guru: Anak menggunakan kata-kata kasar atau ejekan untuk menyakiti perasaan teman atau guru.
Menggunakan kata-kata kasar atau menghina: Anak sering menggunakan bahasa kasar atau hinaan saat berbicara dengan orang lain.
Mengeluarkan komentar sarkastik atau merendahkan: Anak sering membuat komentar sarkastik atau merendahkan terhadap teman atau guru, menyebabkan perasaan tidak nyaman.
Membuat pernyataan yang menakut-nakuti atau melecehkan orang lain: Anak menggunakan ancaman verbal atau pernyataan yang menakut-nakuti untuk mengendalikan atau melecehkan orang lain.
Respon Agresi Verbal
Mengajarkan keterampilan komunikasi positif dan empati melalui diskusi kelompok kecil. Drama dan role-play untuk mengatasi konflik dan seni untuk mengekspresikan perasaan. Dialog terstruktur dengan teman sebaya dan kegiatan permainan peran untuk latihan komunikasi yang baik (Katz & Porath, 2011). Penelitian menunjukkan bahwa program pengembangan keterampilan emosional dapat mengurangi agresi verbal (Eisenberg et al., 2010).
Tantrum
Menangis keras tanpa henti saat tidak mendapatkan yang diinginkan: Anak menangis keras dan lama ketika tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti mainan atau perhatian.
Menjerit atau berteriak dengan marah: Anak menjerit atau berteriak dengan suara keras saat marah atau frustasi.
Menghentak-hentakkan kaki atau memukul-mukul lantai: Anak menunjukkan kemarahan dengan menghentakkan kaki atau memukul-mukul lantai.
Menggigit atau memukul diri sendiri atau orang lain saat marah: Anak menggigit atau memukul dirinya sendiri atau orang lain sebagai respons terhadap frustrasi atau kemarahan.
Respon Tantrum
Sudut tenang dengan aktivitas menenangkan seperti buku gambar atau puzzle serta sesi latihan pernapasan. Ekspresi emosi melalui seni dan musik yang menenangkan. Menggunakan scaffolding untuk mengajarkan strategi pengaturan emosi melalui aktivitas relaksasi yang dipandu (Blair & Raver, 2015). Penelitian menunjukkan bahwa intervensi berbasis regulasi emosi efektif dalam mengurangi frekuensi tantrum (Morris et al., 2013).
Isolasi Sosial
Menolak bermain atau berbicara dengan teman sekelas: Anak menolak untuk bermain atau berinteraksi dengan teman sekelasnya, lebih memilih untuk sendirian.
Menghabiskan waktu sendirian saat istirahat atau waktu bermain: Anak sering mengisolasi diri dan menghabiskan waktu sendirian selama waktu istirahat atau bermain.
Menghindari kegiatan kelompok atau kolaboratif: Anak menolak untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok atau tugas kolaboratif.
Menunjukkan kecemasan atau ketakutan saat berada dalam situasi sosial: Anak tampak cemas atau takut saat harus berinteraksi dengan orang lain, seperti saat berbicara di depan kelas atau bermain bersama teman.
MANJA VS NEMPEL2
BOHONG
Kolaboratif
Respon Isolasi Sosial
Mendorong partisipasi dalam kegiatan kelompok kecil seperti proyek sains atau seni untuk meningkatkan keterampilan sosial. Menciptakan lingkungan yang inklusif dengan melibatkan anak dalam proyek kolaboratif. Interaksi sosial dalam ZPD dan dukungan dari teman sebaya untuk meningkatkan keterampilan sosial (Wentzel, 2016). Studi menunjukkan bahwa program intervensi sosial dapat mengurangi isolasi sosial pada anak-anak (Locke et al., 2015).
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
Tanda-tanda:
Kesulitan fokus atau memperhatikan tugas: Anak kesulitan mempertahankan perhatian pada tugas atau kegiatan tertentu, sering kali terlihat mudah teralihkan.
Mudah teralihkan: Anak dengan mudah teralihkan oleh stimulus eksternal, seperti suara atau gerakan di sekitar mereka.
Hiperaktif, seperti sering bergerak atau berlarian tanpa henti: Anak menunjukkan aktivitas fisik yang berlebihan, seperti berlarian atau memanjat dalam situasi yang tidak sesuai.
Impulsif, seperti sering menginterupsi orang lain atau tidak sabar: Anak sering menginterupsi pembicaraan orang lain atau menunjukkan ketidaksabaran, seperti sulit menunggu giliran.
Lingkungan yang terstruktur dan tenang dengan kegiatan seperti yoga atau puzzle untuk meningkatkan fokus. Proyek dinamis yang memungkinkan gerakan aktif seperti drama atau tari. Mengarahkan perhatian melalui scaffolding dan menggunakan kegiatan yang menarik serta terstruktur (DuPaul et al., 2011). Penelitian menunjukkan bahwa program pelatihan perhatian dapat mengurangi gejala ADHD (Sonuga-Barke et al., 2013).
Kesulitan dalam interaksi sosial dan komunikasi: Anak kesulitan memahami dan berpartisipasi dalam interaksi sosial, sering kali tidak menunjukkan respons yang sesuai dalam komunikasi.
Minat yang terbatas atau berulang pada aktivitas tertentu: Anak menunjukkan minat yang intens pada topik atau aktivitas tertentu dan mungkin mengulangi tindakan atau percakapan.
Kesulitan memahami atau mengekspresikan emosi: Anak mengalami kesulitan dalam memahami emosi orang lain atau mengekspresikan emosinya sendiri dengan cara yang sesuai.
Sensitivitas berlebihan terhadap rangsangan sensorik (cahaya, suara, tekstur): Anak menunjukkan respons yang berlebihan terhadap rangsangan sensorik tertentu, seperti menghindari cahaya terang atau suara keras.
Kegiatan individual yang terstruktur dan dapat diprediksi seperti puzzle atau menyusun blok. Seni dan musik untuk ekspresi diri serta alat bantu visual dalam kegiatan sehari-hari. Dukungan sosial yang terstruktur dan scaffolding untuk meningkatkan keterampilan sosial dan komunikasi (Koegel et al., 2012). Penelitian menunjukkan bahwa intervensi berbasis analisis perilaku terapan efektif dalam meningkatkan keterampilan sosial pada anak-anak dengan autisme (Smith et al., 2020).
Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorders)
Tanda-tanda:
Kecemasan yang berlebihan atau tidak masuk akal terhadap situasi sehari-hari: Anak menunjukkan kecemasan yang tidak proporsional terhadap situasi yang biasanya tidak menimbulkan kecemasan.
Menghindari situasi sosial atau aktivitas tertentu: Anak menghindari situasi sosial atau aktivitas tertentu karena merasa cemas atau takut.
Sering mengeluh sakit fisik seperti sakit perut atau sakit kepala: Anak sering mengeluh tentang gejala fisik yang mungkin terkait dengan kecemasan, seperti sakit perut atau sakit kepala.
Sulit tidur atau sering terbangun di malam hari: Anak mengalami kesulitan tidur atau sering terbangun di malam hari karena kecemasan yang berlebihan.
Respon Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorders)
Lingkungan yang aman dan menenangkan dengan aktivitas seperti menggambar atau latihan pernapasan. Dukungan emosional melalui proyek seni dan kegiatan ekspresi kreatif. Menggunakan scaffolding untuk pengaturan emosi dan interaksi sosial yang suportif (Creswell et al., 2020). Penelitian menunjukkan bahwa program kognitif-perilaku efektif dalam mengurangi kecemasan pada anak-anak (Ginsburg et al., 2011).
Gangguan Depresi (Depressive Disorders)
Tanda-tanda:
Perasaan sedih atau murung yang berkepanjangan: Anak menunjukkan perasaan sedih atau murung yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya disukai: Anak kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya disukai atau dinikmati.
Penurunan berat badan atau perubahan nafsu makan: Anak mengalami perubahan signifikan dalam berat badan atau nafsu makan, baik peningkatan atau penurunan.
Kesulitan berkonsentrasi atau membuat keputusan: Anak mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi atau membuat keputusan, bahkan untuk hal-hal yang sederhana.
Pikiran tentang kematian atau bunuh diri: Anak mungkin mengungkapkan pikiran tentang kematian atau bunuh diri, yang merupakan tanda serius dari gangguan depresi.
Respon Gangguan Depresi (Depressive Disorders)
Kegiatan yang meningkatkan harga diri seperti merawat tanaman atau hewan kelas. Proyek kelompok yang memerlukan kontribusi setiap anak dan seni untuk ekspresi diri. Dukungan sosial melalui teman sebaya dan scaffolding untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi (Shochet et al., 2001). Penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif-perilaku efektif dalam mengurangi gejala depresi pada anak-anak (Weisz et al., 2017).
Gangguan Perilaku (Conduct Disorders)
Tanda-tanda:
Perilaku agresif terhadap orang atau hewan: Anak menunjukkan perilaku agresif, seperti menyerang atau menyakiti orang atau hewan.
Perusakan properti: Anak dengan sengaja merusak properti, baik milik sendiri maupun orang lain.
Kebohongan atau pencurian yang berulang: Anak sering berbohong atau mencuri, dan perilaku ini terjadi berulang kali.
Pelanggaran serius terhadap aturan atau norma sosial: Anak sering melanggar aturan atau norma sosial dengan cara yang serius, seperti melarikan diri dari rumah atau bolos sekolah.
Respon Gangguan Perilaku (Conduct Disorders)
Mengajarkan tanggung jawab melalui tugas kelas dan proyek seni kolaboratif. Mengarahkan energi negatif ke proyek konstruktif dan drama kelas untuk mengajarkan empati. Interaksi sosial yang diawasi dan scaffolding untuk membangun perilaku positif (Moffitt et al., 2001). Studi menunjukkan bahwa program pengelolaan perilaku efektif dalam mengurangi gejala gangguan perilaku (Kazdin, 2010).
Sering menentang atau membangkang terhadap otoritas: Anak sering menunjukkan perilaku menentang atau membangkang terhadap otoritas, seperti guru atau orang tua.
Marah atau mudah tersinggung: Anak sering merasa marah atau mudah tersinggung, bahkan dalam situasi yang tidak memancing emosi tersebut.
Sengaja mengganggu orang lain: Anak sengaja mengganggu atau mengganggu orang lain, baik teman sebaya maupun orang dewasa.
Menyalahkan orang lain atas kesalahan mereka sendiri: Anak sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau masalah yang mereka buat sendiri.
Memberikan anak pilihan dalam kegiatan harian dan mengajarkan resolusi konflik melalui permainan peran. Partisipasi dalam pembuatan aturan kelas dan proyek seni yang melibatkan ekspresi diri. Sesi diskusi yang dipandu tentang perilaku dan scaffolding untuk membangun kepatuhan (Greene & Doyle, 1999). Penelitian menunjukkan bahwa terapi keluarga dapat efektif dalam mengurangi gejala gangguan oposisi (Burke et al., 2002).
Gangguan Bipolar
Tanda-tanda:
Perubahan suasana hati yang ekstrem antara depresi dan mania: Anak mengalami perubahan suasana hati yang drastis, dari merasa sangat sedih (depresi) ke merasa sangat gembira atau berenergi tinggi (mania).
Energi berlebihan atau penurunan energi secara drastis: Anak menunjukkan peningkatan energi yang berlebihan selama fase mania atau penurunan energi yang drastis selama fase depresi.
Perilaku impulsif selama fase mania: Anak menunjukkan perilaku impulsif, seperti mengambil risiko yang tidak biasa atau melakukan tindakan tanpa memikirkan konsekuensinya selama fase mania.
Pikiran melambat atau sulit berpikir selama fase depresi: Anak mengalami kesulitan dalam berpikir atau merasa pikiran mereka berjalan lambat selama fase depresi.
Respon Gangguan Bipolar
Kegiatan yang konsisten dan terstruktur seperti proyek seni atau kerajinan. Proyek seni yang fleksibel tetapi terarah dan drama serta musik untuk mengekspresikan emosi. Scaffolding untuk pengaturan emosi dan intervensi sosial yang suportif (Findling et al., 2010). Penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif-perilaku dapat efektif dalam mengelola gejala gangguan bipolar pada anak-anak (Fristad et al., 2009).
Gangguan Makan (Eating Disorders)
Tanda-tanda:
Obsesif terhadap berat badan, makanan, atau bentuk tubuh: Anak menunjukkan obsesi yang tidak sehat terhadap berat badan, makanan, atau bentuk tubuh mereka.
Pola makan yang tidak normal, seperti makan berlebihan atau sangat sedikit: Anak menunjukkan pola makan yang tidak sehat, seperti makan berlebihan atau sangat sedikit.
Ketakutan yang tidak wajar terhadap kenaikan berat badan: Anak menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap kenaikan berat badan, bahkan jika mereka berada pada berat badan yang sehat.
Gejala fisik seperti penurunan berat badan yang ekstrem atau gangguan pencernaan: Anak mengalami gejala fisik yang signifikan, seperti penurunan berat badan yang ekstrem atau masalah pencernaan.
Respon Gangguan Makan (Eating Disorders)
Kegiatan yang meningkatkan citra tubuh positif seperti seni atau menulis jurnal. Seni untuk ekspresi diri dan proyek kelompok tentang gizi dan kesehatan. Dukungan dari teman sebaya dan scaffolding untuk membangun citra tubuh yang positif (Lock et al., 2010). Penelitian menunjukkan bahwa terapi keluarga dapat efektif dalam mengobati gangguan makan pada remaja (Le Grange et al., 2010).
Kilas balik atau mimpi buruk tentang pengalaman traumatis: Anak mengalami kilas balik atau mimpi buruk yang berhubungan dengan pengalaman traumatis yang mereka alami.
Menghindari situasi atau pemicu yang mengingatkan pada trauma: Anak menghindari situasi atau pemicu yang mengingatkan mereka pada pengalaman traumatis.
Reaksi berlebihan terhadap kejutan atau ketakutan: Anak menunjukkan reaksi yang berlebihan terhadap kejutan atau situasi yang menakutkan.
Kesulitan tidur atau konsentrasi: Anak mengalami kesulitan tidur atau berkonsentrasi, sering kali karena teringat akan pengalaman traumatis mereka.
Kegiatan yang menenangkan seperti membaca atau menggambar di sudut tenang. Proyek seni untuk memproses emosi dan kegiatan drama untuk mengatasi pengalaman traumatis. Scaffolding untuk pengaturan emosi dan sesi kelompok yang mendukung untuk berbicara tentang perasaan (Cohen et al., 2004). Penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif-perilaku berbasis trauma efektif dalam mengobati PTSD pada anak-anak (Smith et al., 2007).
Referensi
Blair, C., & Raver, C. C. (2015). School readiness and self-regulation: A developmental psychobiological approach. Annual Review of Psychology, 66, 711-731.
Bradshaw, C. P., Mitchell, M. M., & Leaf, P. J. (2010). Examining the effects of schoolwide positive behavioral interventions and supports on student outcomes. Journal of Positive Behavior Interventions, 12(3), 133-148.
Brown, J. L., & Lee, J. (2017). The role of cooperation and collaboration in creating environmental knowledge. Environmental Education Research, 23(5), 747-765.
Burke, J. D., Loeber, R., & Birmaher, B. (2002). Oppositional defiant disorder and conduct disorder: A review of the past 10 years, part II. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 41(11), 1275-1293.
Cohen, J. A., Mannarino, A. P., & Deblinger, E. (2004). Trauma-focused cognitive behavioral therapy for children and adolescents: Treatment applications. Guilford Press.
Creswell, C., Waite, P., & Cooper, P. J. (2020). Assessment and management of anxiety disorders in children and adolescents. BMJ, 370, m3294.
DuPaul, G. J., Weyandt, L. L., & Janusis, G. M. (2011). ADHD in the classroom: Effective intervention strategies. Theory Into Practice, 50(1), 35-42.
Eisenberg, N., Spinrad, T. L., & Eggum, N. D. (2010). Emotion-related self-regulation and its relation to children's maladjustment. Annual Review of Clinical Psychology, 6, 495-525.
Findling, R. L., Frazier, T. W., Youngstrom, E. A., McNamara, N. K., Stansbrey, R. J., Demeter, C. A., ... & Calabrese, J. R. (2010). Double-blind, placebo-controlled trial of divalproex extended-release in the treatment of bipolar disorder in children and adolescents. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 49(10), 1013-1023.
Flook, L., Smalley, S. L., Kitil, M. J., Galla, B. M., Kaiser-Greenland, S., Locke, J., ... & Kasari, C. (2010). Effects of mindful awareness practices on executive functions in elementary school children. Journal of Applied School Psychology, 26(1), 70-95.
Fristad, M. A., Vesco, A. T., Youngstrom, E. A., Wolfson, H. L., & Birmaher, B. (2009). Pilot randomized controlled trial of multifamily psychoeducational psychotherapy for childhood mood disorders. Bipolar Disorders, 11(8), 891-905.
Ginsburg, G. S., Drake, K. L., Tein, J. Y., Teetsel, R., & Riddle, M. A. (2011). Preventing onset of anxiety disorders in offspring of anxious parents: A randomized controlled trial of a family-based intervention. American Journal of Psychiatry, 168(11), 1208-1215.
Gresham, F. M., Sugai, G., & Horner, R. H. (2001). Interpreting outcomes of social skills training for students with high-incidence disabilities. Exceptional Children, 67(3), 331-344.
Jones, S. M., & Bouffard, S. M. (2012). Social and emotional learning in schools: From programs to strategies. Social Policy Report, 26(4), 1-33.
Katz, J., & Porath, M. (2011). Understanding the brain's role in social and emotional well-being: Educators' perspectives on neuroscience and education. Journal of Educational Change, 12, 435-450.
Kazdin, A. E. (2010). Problem-solving skills training and parent management training for conduct disorder. In A. J. Rush et al. (Eds.), Handbook of Psychiatric Treatments (pp. 120-132). Guilford Press.
Koegel, R. L., Koegel, L. K., & McNerney, E. K. (2001). Pivotal areas in intervention for autism. Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology, 30(1), 19-32.
Le Grange, D., Lock, J., Accurso, E. C., Agras, W. S., Darcy, A., Forsberg, S., ... & Bryson, S. W. (2014). Relapse from remission at two- to four-year follow-up in two treatments for adolescent anorexia nervosa. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 53(11), 1162-1167.
Locke, J., Ishijima, E. H., Kasari, C., & London, N. (2010). Loneliness, friendship quality and the social networks of adolescents with high-functioning autism in an inclusive school setting. Journal of Research in Special Educational Needs, 10(2), 74-81.
Moffitt, T. E., Caspi, A., Dickson, N., Silva, P., & Stanton, W. (1996). Childhood-onset versus adolescent-onset antisocial conduct problems in males: Natural history from ages 3 to 18 years. Development and Psychopathology, 8(2), 399-424.
Morris, A. S., Silk, J. S., Steinberg, L., Myers, S. S., & Robinson, L. R. (2007). The role of the family context in the development of emotion regulation. Social Development, 16(2), 361-388.
Ray, D. C., Schottelkorb, A. A., & Tsai, M. H. (2007). Play therapy with children exhibiting symptoms of attention deficit hyperactivity disorder. International Journal of Play Therapy, 16(2), 95-111.
Shochet, I. M., Dadds, M. R., Ham, D., & Montague, R. (2006). School connectedness is an underemphasized parameter in adolescent mental health: Results of a community prediction study. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 35(2), 170-179.
Smith, T., Scahill, L., Dawson, G., Guthrie, D., Lord, C., Odom, S., ... & Wagner, A. (2007). Designing research studies on psychosocial interventions in autism. Journal of Autism and Developmental Disorders, 37(2), 349-366.
Sonuga-Barke, E. J., Brandeis, D., Cortese, S., Daley, D., Ferrin, M., Holtmann, M., ... & Sergeant, J. (2013). Nonpharmacological interventions for ADHD: Systematic review and meta-analyses of randomized controlled trials of dietary and psychological treatments. American Journal of Psychiatry, 170(3), 275-289.
Walker, S., & Shore, B. M. (2018). The social composition of gifted classrooms: Experiences and outcomes for students with and without intellectual gifts. Journal of Advanced Academics, 29(2), 120-148.
Weisz, J. R., Krumholz, L. S., Santucci, L., Thomassin, K., & Ng, M. Y. (2015). Shrinking the gap between research and practice: Tailoring and testing youth psychotherapies in clinical care contexts. Annual Review of Clinical Psychology, 11, 139-163.
Wentzel, K. R. (2016). Teacher-student relationships, academic achievement, and social competence. In L. S. Liben & U. Müller (Eds.), Handbook of Child Psychology and Developmental Science (7th ed., Vol. 2, pp. 1-50). Wiley.
Want to print your doc? This is not the way.
Try clicking the ⋯ next to your doc name or using a keyboard shortcut (